"Kalimantan kaya sumber energi, mineral dan
sumber daya alam lainnya, memberikan kontribusi besar terhadap penerimaan
devisa negara namun terabaikan pembangunannya."
KH. Amidhan (Ketua FKK) |
Jakarta, 12
Mei 2014 -- Arah gerakan reformasi semakin dipertanyakan karena tidak mampu
mengatasi ketimpangan sosial ekonomi yang dinilai cenderung melebar. Setelah
gerakan reformasi berjalan 15 tahun, ketimpangan ekonomi dan pembangunan
ternyata tidak juga berkurang, tetapi justru melebar. Keluhan bermunculan
karena realitas pembangunan bidang ekonomi dan politik semakin menjauhi
cita-cita gerakan reformasi. Dalam bidang politik terjadi kegaduhan, sementara
di bidang ekonomi pembangunan terlihat ketimpangan.
Kesenjangan
melebar antara kelompok kaya dan miskin, antara pulau Jawa dan luar Jawa
khususnya, termasuk pulau Kalimantan. Dalam kesenjangan itu, semakin terlihat
bahwa kekayaan dan pembangunan yang pesat menumpuk hanya pada daerah Jawa dan
segelintir daerah lainnya, sementara di Pulau Kalimantan (luar Jawa) jutaan
orang lainnya terus bergulat setiap hari dalam keterbatasan hidup dan
ketimpangan pembangunan. Kekayaan dan kemakmuran bagi sejumlah daerah
berarti kemiskinan bagi daerah lainnya pulau Kalimantan. Sangat ironis
bukan?
Ketua Forum
Komunikasi Kalimantan, Drs. KH. Amidhan, mantan Anggota BP MPR RI (1999-2004),
PAH I Perubahan UUD 1945 dan mantan Ketua Subkom Ekosob Komnas HAM (2002-2007)
mengatakan: "Hasil Kalimantan dihitung tapi Kalimantan tidak
diperhitungkan. Amidhan berpendapat: oleh karena itu pembangunan bangsa dan
negara ke depan memerlukan pemimpin yang mampu mengambil keputusan cepat tepat,
dan adil. Mampu mengendalikan keseimbangan pembangunan yg berkeadilan antara
pusat - daerah, mampu menjaga keutuhan, integrasi, kedaulatan, kemandirian dan
martabat bangsa. Seorang negarawan yang visioner, mengerti masalah di daerah
dan ditingkat nasional dan solusinya dan mampu menciptakan rasa aman sentosa.
Terkait dengan kriteria bagi sang pemimpin tersebut, Forum Komunikasi
Kalimantan mengusung Ir. H. Isran Noor, M.Si sebagai Cawapres"
Mari kita
lihat bagaimana peran Koridor Ekonomi Kalimantan dalam memberikan kontrubusi
terbesar dalam pembangunan Nasional. Seperti yang dikemukakan oleh analisis
perdagangan bahwa perlu kebijakan kondusif bagi pelaku usaha sehingga ia
tertarik dan melakukan investasi untuk membiayai pembangunan agar terwujud
peningkatan PDB Indonesia dari sekitar USD 1,2 triliun pada tahun 2013 menjadi
USD 4,5 triliun pada tahun 2025. Pada saat itu pendapatan perkapita sekitar USD
15.000 dan diharapkan pertumbuhan ekonomi riil 8 - 9% pertahun pada perioda
2015-2025.
Hal tersebut
juga, ditunjukkan bahwa APBN Indonesia bebannya berat? Pembangunan tidak dapat
hanya mengandalkan pada investasi pemerintah. Dari struktur APBN dapat
diketahui bahwa hanya sebagian kecil untuk membiayai pembangunan dibanding
membiayai rutin pemerintahan. Belanja Subsidi juga sangat besar.
Pada
kesempatan yang sama Sekretaris Forum Komunikasi Kalimantan, Ardiansyah Parman,
mantan Sekretaris Jenderal Kementerian Perdagangan menjelaskan: "Transaksi
ekspor-impor di Koridor Ekonomi Jawa terus mengalami defisit luar biasa.
Padahal Tahun 2006 defisit di Koridor Ekonomi Jawa baru mencapai USD 3,2 miliar
kemudian pada tahun 2013 menjadi USD 60 miliar. Defisit sebesar itu ditutupi
oleh kontribusi net ekspor hasil Sumber Daya Alam dari Kalimantan USD 27
milliar, Sumatera USD 26,8 miliar dan Koridor Ekonomi luar Jawa lainnya seperti
Papua, Sulawesi, Maluku dan NTB. Dari data tersebut, jelas pulau Kalimantan
sangat memberikan kontrubusi yang sangat signifikan terhadap pembangunan
nasional."
Berkaitan
dengan hal tersebut, pertanyaannya sekarang, bagaimana pendapatan negara bisa
ditingkatkan untuk pembangunan selanjutnya? Ardiansyah menambahkan:
"Ada dua sumber penerimaan negara yg harus ditingkatkan yaitu : (1)
perpajakan melalui peningkatan keputuhan wajib pajak, dan tegakan aturan. Tax
Revenue Indonesia hanya sekitar 12%; (2) PNBP (penerimaan negara bukan pajak)
melalui peningkatan penerimaan dari sektor migas dan pertambangan dalam bentuk
royalty dan bagi hasil. Kita perlu pemimpin nasional yang melakukan
renegosiasi kontrak-kontrak dengan pelaku usaha di sektor migas dan
pertambangan untuk memberikan keuntungan bagi negara dan sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat, dan (3) turunkan secara bertahap subsidi BBM dan listrik
untuk mendanai pembangunan infrastruktur laut."
Seperti yang
telah dikemukakan di atas, Koridor Ekonomi Kalimantan peranannya akan semakin
penting. Apabila Pulau Kalimantan dapat berkembang dan berfungsi dengan baik
pembangunannya dan pengelolaan sumber daya alamnya tidak dihancurkan secara
sistemik. Namun kejadiannya saat ini adalah bahwa pemikiran untuk mengembangkan
Pulau Kalimantan dan menatanya secara komprehensif hanyalah menjadi slogan dan
politik pencitraan saja.
Disamping
itu, apabila kita melihat persoalan ketimpangan pembangunan itu, tidak hanya
antara Jawa dan luar Jawa. Juga antara Indonesia bagian barat dan Indonesia
bagian timur. Apa yang salah? Persoalan kesenjangan atau ketimpangan
pembangunan tentu merupakan kombinasi antara persoalan kultural dan struktural.
Secara kultural, kemiskinan dan kesenjangan tidak terlepas dari masalah
pimpinan daerah atas kebijakan yang diterapkannya.
Tokoh
Kalimantan, Drs. Moebramsjah Dubes RI di Irak tahun 1997-2000 menyatakan bahwa:
"secara struktural, kesenjangan dan kemiskinan disebabkan lemahnya kemauan
politik. Upaya mengatasi kesenjangan pembangunan dan kemiskinan tidak diikat
dalam komitmen politik serta kebijakan yang kuat dan konsisten. Program
pengentasan orang dari kemiskinan dan pengurangan kesenjangan pembangunan
semakin menghadapi tantangan karena praktik korupsi meluas di kalangan pejabat
dari pusat sampai ke daerah."
Tidak kalah
memprihatinkan, dalam mempertahankan standar hidup tinggi di kalangan tertentu,
tak jarang lingkungan dikorbankan. Pengerukan sumber daya alam berlangsung
tidak terkendali. Ribuan tambang liar telah menghancurkan lingkungan. Proses
penggundulan hutan berlangsung di mana-mana. Krisis ekologi merupakan salah
satu bahaya terbesar masa depan. Kehancuran ekologi, yang berlangsung paralel
dengan ketimpangan ekonomi, merupakan tantangan pelik yang dihadapi bangsa
Indonesia.
Tokoh
Kalimantan, DR Taufik Effendi mantan Menteri PAN juga turut menambahkan bahwa:
"Bahaya lebih besar akan menghadang jika kesenjangan dan krisis ekologi
tidak segera diatasi. Pembangunan yang berkesinambungan (sustainability) tidak
mungkin berlangsung apabila ketimpangan sosial-ekonomi dalam pembangunan dan
krisis ekologi dibiarkan."
Perbaikan
kesenjangan pembangunan bukan hanya untuk kepentingan kelompok miskin,
melainkan juga kelompok kaya. Secara sosiologis sering diibaratkan, kekuatan
sebuah mata rantai sosial sangat ditentukan oleh mata rantai paling lemah.
Seluruh mata rantai sosial tidak akan berjalan, berputar, dan berfungsi jika
salah satu mata rantainya rapuh dan putus. Kelompok kaya juga tidak akan
bergerak leluasa apabila kehidupan sosial kenegaraan dimacetkan oleh mata
rantai persoalan kelompok miskin dan macetnya pemerataan pembangunan.
Amidhan
menegaskan: "Oleh karena itu, tidak ada pilihan lain bagi kami masyarakat
Kalimantan hanyalah dengan kata “Menggugat” demi keadilan dan pemerataan
pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat Kalimantan secara keseluruhan.
Prioritaskan untuk membangun dan menyediakan listrik dan infrastruktur lainnya
yg sangat diperlukan Kalimantan. Gugatan ini kami sampaikan kepada Pemimpin
Nasional 2014-2019 untuk memperhatikan sunguh-sungguh pulau Kalimantan yang
kaya dengan sumber daya alamnya tapi miskin dalam kehidupannya. Jangan biarkan
kami miskin dan hancur, tapi berilah kami untuk berkembang dan bersama-sama
menikmati pembangunan di Republik Indonesia tercinta ini. Salam Persaudaraan
NKRI."
0 komentar:
Posting Komentar