ENERGI LISTRIK DALAM HUBUNGANNYA DENGAN KETAHANAN ENERGI
DAN KETAHANAN EKONOMI SERTA KETERKAITANNYA DENGAN
KETERSEDIAAN SUMBER DAYA ALAM
DI KALIMANTAN SELATAN DAN KALIMANTAN TENGAH
oleh :
H. KHAIRIL WAHYUNI, SH,
MBA
PENDAHULUAN
Latar belakang:
Kalimantan dimana terletak propinsi Kalimantan Selatan dan Propinsi
Kalimantan Tengah merupakan salah satu pulau di Indonesia yang dianugerahi Allah SWT dengan
kekayaan alam yang melimpah baik dari dalam perut buminya maupun di
permukaannya. Kekayaan alam ini jika dikelola dengan baik akan bisa memberikan
manfaat yang luar biasa besar baik bagi penduduk yang mendiaminya, maupun bagi
Indonesia pada umumnya. Manfaat ini akan
bisa dirasakan tidak hanya oleh generasi sekarang, tetapi juga oleh generasi-generasi
berikutnya.
Sayangnya potensi itu khususnya Kalimantan Selatan sekarang ini sedang
terancam keberlangsungannya. Jangankan untuk generasi mendatang, generasi
sekarangpun banyak yang tidak menikmati manfaatnya, hal ini dapat dirasakan
dimana saat ini Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah sedang mengalami
krisis energi listrik, yang seharusnya hal ini tidak boleh terjadi mengingat
Kalimantan sangat kaya akan energi primer seperti minyak, gas, batu bara, dsb
yang merupakan penggerak/bahan bakar energi listrik.
Penyebab utama terjadinya krisis energi listrik saat ini adalah karena adanya kesenjangan antara pasokan dan
kebutuhan energi listrik di daerah ini disebabkan karena rendahnya kemampuan investasi oleh Pemerintah atau PLN.
Meskipun krisis ini akan berakhir di tahun 2010 ini dimana PLN / pemerintah
telah mampu melakukan investasi atau sewa mesin-mesin pembangkit untuk memenuhi
kebutuhan energi listrik daerah ini, namun hal ini bukanlah jaminan untuk tidak akan mengalami krisis energi listrik
lagi di kemudian hari. Hal ini disebabkan karena ketidakmampuan Pemerintah/Pemerintah Daerah dalam mengelola sumber daya
alam khususnya energi primer/batubara untuk memenuhi kebutuhan pasokan
Pembangkit Listrik Tenaga Uap/PLTU di Kalimantan ini untuk jangka panjang.
Dengan demikian kemampuan Pemerintah/PLN untuk berinvestasi di bidang
pembangkitan belum menjamin terbebasnya Kalimantan Selatan dan Tengah dari
krisis energi listrik di masa depan jika tidak diikuti dengan pengelolaan atas
cadangan energi primer untuk kebutuhan pembangkit-pembangkit tersebut .
Ketersediaan cadangan energi primer di
Kalimantan khususnya di Kalimantan Selatan akan terancam di masa depan jika
kita masih tetap mengeksploitasi besar-besaran terhadap kandungan bumi tersebut
seperti sekarang ini tanpa memperhatikan kebutuhan pasokan pembangkit Listrik
Tenaga Uap untuk masa depan. Ini berarti ketidakmampuan kita dalam mengelola
energi primer khususnya batu bara yang
merupakan anugerah Allah untuk kesejahteraan rakyat kalimantan di masa depan.
Belajar pada pengalaman masa lalu dan yang sedang berjalan sekarang ini dalam
pengelolaan sumber daya alam kita
khususnya batubara yang lebih berorientasi pada kepentingan swasta dengan
mengejar keuntungan jangka pendek tanpa memperhatikan unsur pelayanan publik
atas pengelolaan energi primer tersebut ternyata pengelolaan tersebut tidak
mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat kalimantan khususnya Kalimantan Selatan
bahkan yang diperoleh adalah kerusakan lingkungan yang menderitakan masyarakat
kalimantan selatan yang ditimbulkan dari pengelolaan sumber daya alam ini.
(red. Kelimantan Selatan berada pada peringkat 26 dari 33 provinsi untuk indeks
pembangunan manusia).
PERSOALAN
Berdasarkan uraian di atas timbul pertanyaan besar dalam pengelolaan sumber
daya alam kita khususnya batubara ini di masa depan yaitu untuk siapa sebetulnya kekayaan alam
Kalimantan ini?, apakah masih ada
keberpihakan untuk pelayanan publik ataukah hanya untuk kepentingan yang hanya
terpusat pada segelintir kelompok saja?. Lantas bagaimana kita mengelola kekayaan alam ini yang berorientasi pada
pelayanan publik yang mampu menjadi penggerak utama ekonomi seperti pertanian,
perikanan, perdagangan dan industrialisasi hasil-hasil pertanian, perikanan dan
kekayaan alam lain serta bidang usaha lainya?
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang (RPJPN) 2005–2025 telah menetapkan visi pembangunan,
yaitu “Indonesia yang Maju, Mandiri dan
Adil”.
Visi dan misi
pembangunan tersebut harus menjadi kerangka dasar dalam pengambilan keputusan
jangka menengah maupun jangka pendek. Dalam dokumen RPJPN 2005–2025, proses
pencapaian visi dan misi nasional dilakukan melalui penahapan lima
tahunan.
Dalam proses tersebut, sebagaimana diketahui Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010–2014 merupakan tahapan kedua
dengan penekanan prioritas pada peningkatan kualitas sumber daya manusia termasuk pengembangan
kemampuan ilmu dan teknologi serta penguatan daya saing perekonomian.
Saat ini, RPJMN 2010–2014 telah ditetapkan melalui
Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 yang menjadi pegangan pemerintah pada
semua tingkatan untuk melaksanakan pembangunan selama lima tahun
mendatang.
Visi Indonesia tahun 2014 dalam RPJMN 2010–2014 adalah “TERWUJUDNYA
INDONESIA YANG SEJAHTERA, DEMOKRATIS, DAN
BERKEADILAN.”
Upaya mewujudkan peningkatan kesejahteraan rakyat akan
dilakukan melalui pembangunan ekonomi yang berlandaskan pada keunggulan daya
saing, kekayaan sumber daya alam, sumber daya manusia dan budaya bangsa.
Dengan demikian berbicara tentang peningkatan
kesejahteraan rakyat tidak terlepas dengan keunggulan daya saing daerah, pengelolaan
kekayaan sumber daya alam, peningkatan kualitas sumber daya manusia dan mempertahankan
nilai-nilai budaya bangsa.
Kita
akan mempunyai keunggulan komparatif baik secara regional maupun internasional
jika kita mampu mengelola kekayaan sumber daya alam yang kita miliki secara
effisien, effektif, dan optimal dan mampu meningkatkan kualitas sumber daya
manusia kita dengan tetap berpegang pada jati diri budaya bangsa kita.
Oleh karenanya dalam pembahasan ini saya lebih menekankan
pada pengelolaan sumber daya alamnya untuk meningkatkan daya saing daerah
sehingga mampu meningkatkan pembangunan ekonomi yang pada akhirnya mampu
meningkatkan kualitas sumber daya manusia tersebut.
Kalimantan Selatan merupakan provinsi yang dianugerahi
Allah dengan kekayaan alam yang melimpah baik dari dalam perut buminya maupun
di permukaannya. Secara matematis, kekayaan ini seharusnya cukup untuk membuat
masyarakat Kalsel sejahtera. Namun pada realitanya, masyarakat Kalsel belum
sejahtera. Hal ini bisa dilihat dari berbagai parameter diantaranya adalah
Index Pembangunan Manusia (IPM).
Saat ini IPM Kalsel berada di peringkat 26 dari 33
provinsi. Hal ini merupakan indikasi bahwa tingkat pendidikan, kesehatan serta
kemampuan ekonomi masyarakat Kalsel masih sangat rendah dibandingkan provinsi
lain di Indonesia. Hanya ada satu hal yang bisa menjelaskan mengapa terjadi
kontradiksi antara melimpahnya kekayaan alam Kalsel dan rendahnya IPM Kalsel,
yaitu tidak berjalannya sistem pengelolaan sumber daya alam yang optimal.
Kontribusi sektor pertambangan yang masih mendominasi
perekonomian daerah dimana hampir 25,62% dari PDRB Kalimantan Selatan berasal
dari sektor pertambangan, ini menunjukkan bahwa telah terjadi ekploitasi
besar-besaran terhadap kandungan bumi Kalsel. Fenomena ini menunjukkan bahwa
saat ini paradigma yang digunakan dalam mengelola sumber daya alam adalah
melihat kekayaan alam dari sisi commodity
value. Artinya kekayaan alam Kalsel hanya dinilai dari harga jualnya
sehingga orientasinya hanya menjual saja tanpa adanya usaha untuk
memanfaatkannya secara maksimal.
Sebagaimana layaknya suatu perdagangan,
karena yang dikejar adalah bagaimana mendapatkan uang sebanyak-banyaknya, maka
pasar mana yang paling menguntungkan itulah yang akan diprioritaskan. Sebagai
imbasnya, karena ternyata pasar ekspor jauh lebih menjanjikan keuntungan
daripada pasar domestik, maka harga dalam negeri mau tidak mau juga akan
merangkak naik seiring naiknya harga ekspor.
Tingginya harga batubara di dalam
negeri ini membawa dampak besar terhadap ekonomi secara luas. Hal ini terjadi
karena tingginya harga batubara mendongkrak biaya produksi dari industri yang
menggunakan batubara sebagai bahan bakarnya yang akhirnya menyebabkan tingginya
harga hasil produksi. Yang lebih parahnya lagi, tingginya harga ini ternyata
masih juga tidak bisa menjamin keberlangsungan pasokan batubara domestik karena
produsen lebih mementingkan pasar ekspor daripada pasar domestik karena sudah
terikat konrak dengan pembeli dari luar negeri yang disebabkan karena adanya selisih harga ekspor dan
domestik yang jauh lebih menarik pasar ekspor.
Di sisi lain, penerapan paradigma pengelolaan batubara
sebagai komoditi ini telah memicu penambangan besar-besaran tanpa kendali yang
mengakibatkan rusaknya lingkungan alam
Kalimantan Selatan dan terancamnya kelangsungan penyediaan energy masa depan.
Tidak dipungkiri bahwa cara pengelolaan sumber daya alam
yang commodity oriented seperti yang
diterapkan selama ini dalam skala tertentu memang telah berhasil membiayai
pembangunan Kalsel. Namun Karena penambangan adalah sektor padat modal yang
hanya menyerap sedikit angkatan kerja maka mengakibatkan hasil eksploitasi
sumber daya alam hanya terpusat pada segelintir kelompok sementara sebagian
besar lainnya tidak merasakan manfaatnya. Akibat lebih lanjut adalah terjadinya
pertumbuhan ekonomi semu, yaitu secara statistik ekonomi daerah naik (karena
kontribusi sektor pertambangan) tapi pada kenyataannya tingkat kesejahteraan
masyarakat rendah selain menciptakan pertumbuhan ekonomi semu seperti tersebut
di atas, hal itu juga akan terlihat sangat tidak sepadan jika dibandingkan
dengan dampak yang ditimbulkannya.
Contoh kecil dari daftar panjang dampak eksploitasi
penambangan ini antara lain adalah; terkuras habisnya cadangan batubara kita
sehingga kita akan kekurangan pasokan batubara untuk pembangkit-pembangkit
listrik kita, terancamnya kelestarian hutan yang merupakan sumber air penting
dan juga merupakan paru-paru dunia karena penambangan batubara yang ada di
bawahnya, berkurangnya lahan-lahan produktif dari tahun ke tahun, rusaknya
lingkungan karena lubang-lubang bekas galian batubara yang ditinggalkan begitu
saja oleh penambang, pencemaran lingkungan akibat aktivitas penambangan seperti
debu, rembesan air asam tambang, serta limbah pencuciannya yang mencemari
air/sungai yang dimanfaatkan oleh warga.
Mantan menteri ESDM, Purnomo
Yusgiantoro dalam salah satu siaran persnya di awal 2009 menyatakan bahwa jumlah
sumber daya batu bara kalimantan Selatan sebesar 12 miliar ton dengan cadangan
mencapai 1.669 miliar ton. Sedangkan produksi batu bara tahun 2008 adalah
sebesar 68.2 juta, yang sebagian besar yakni 48.3 juta ton diekspor dan sisanya
19,9 juta ton untuk kebutuhan dalam negeri.
Pada tahun-tahun mendatang, diperkirakan rata-rata produksi berkisar 95
juta ton per tahun (Sumber : http://www.mediaindonesia.com/read/2009/01/07/54822/21/2/Produksi-Batu-Bara-Kalsel-Berpotensi-Meningkat).
Jika data ini dijadikan sebagai acuan, maka cadangan batu bara Kalimantan
Selatan hanya mampu bertahan selama
kurang lebih 18 tahun dengan asumsi produksi rata-rata per tahun adalah sebesar
95 juta ton.
Delapan belas tahun bukanlah waktu yang lama. Apa yang
akan terjadi jika kalkulasi di atas benar-benar terjadi? Hal yang sudah di
depan mata tentu saja adalah kita akan kekurangan pasokan batu bara untuk
pembangkit-pembangkit listrik kita yang menggunakan bahan bakar batu bara.
Sementara di sisi lain, umur ekonomis pembangkit–pembangkit tersebut masih
tersisa. Hal ini memaksa kita untuk memenuhi kebutuhan pasokan batu bara
tersebut dari daerah luar Kalimantan Selatan, baik dari dalam maupun luar
negeri. Hal tersebut mengakibatkan Kalimantan Selatan sudah tidak mempunyai
keunggulan kompetitif jika dibandingkan dengan daerah lainnya di Indonesia
Untuk menghindari terjadinya krisis pasokan batubara ke
pembangkit PLN di kemudian hari, maka
hal pertama dan mendasar yang harus dilakukan adalah diubahnya paradigma
pengelolaan sumber daya alam yang memandang kekayaan alam dari commodity value menjadi energy value, yaitu pengelolaan dengan
memanfaatkannya sebagai sumber energi. Energi
yang dihasilkan inilah yang nantinya akan menggerakkan sektor-sektor ekonomi
seperti industri berbasis pertanian, perikanan, hasil hutan, pertambangan,
perdagangan, jasa dan sebagainya. Energi ini juga yang nantinya akan dijual
keluar untuk menaikkan daya saing daerah, dan bukan lagi batubaranya.
Dengan perubahan paradigma pengelolaan energi primer
menjadi energi value maka mengharuskan Pemerintah/pemerintah daerah untuk
mencadangkan ketersediaan energi primer ini untuk kebutuhan energi listrik masa
depan, jika tidak maka investasi yang telah ditanamkan di sektor pembangkitan
tenaga listrik akan menjadi idle dikemudian hari karena kurangnya pasokan batubara terhadap pembangkit
tersebut.
Pencadangan ketersediaan energi primer ini bukan hanya
dilihat dari sisi pengendalian jumlahnya saja, tetapi yang lebih penting juga
adalah siapa yang menguasai tambang batubara tersebut. Pentingnya penguasaan
atas tambang ini adalah untuk mengetahui keberpihakan pemilik tambang ini
dengan penyediaan energi masa depan Kalimantan khususnya dan Indonesia pada
umunya. Jangan sampai pemilik tambang dengan semaunya saja menetapkan harga
jualnya kepada PLN yang mengakibatkan ketidakmampuan PLN untuk memberli
batubara tersebut, ini berarti juga sama dengan kelangkaan pasokan batubara
atas pembangkit PLN tersebut. Oleh karenanya ke depan perlu ada pengaturan
mengenai harga ini untuk kepentingan domestik khususnya berapa besaran marjin
yang diperbolehkan sehingga diharapkan tidak ada lagi ”petualang-petualang”
tambang yang ”bermain” menciptakan harga pasar yang sangat tidak logis dari
sisi keuntungannya.
Selain itu Pemerintah/Pemerintah Daerah harus sudah melakukan
penelitian atau sudah harus mengembangkan energi alternative seperti air,
matahari, angin, panas bumi dsb untuk memenuhi kebutuhan listrik masa depan
untuk mengantisipasi habisnya cadangan energi yang berasal dari energi fossil.
Disisi lain Pemerintah/Pemerintah daerah dipacu untuk
merangsang investor untuk masuk ke daerah tersebut untuk mengembangkan industri
di daerah tersebut agar dapat menyerap energi listrik yang telah tersedia yang
dihasilkan dari mesin pembangkit tersebut. Jika tidak maka investasi di sektor
ketenagalistrikan yang telah tersedia menjadi idle karena tidak terserapnya
kapasitas terpasang dari mesin
pembangkit tersebut.
Dengan masuknya investor untuk masuk menanamkan
investasinya dalam industri-industri yang berhubungan dengan kekuatan lokal,
maka akan mendorong sektor-sektor
ekonomi non tambang menjadi bergairah dan akan membawa efek domino yang luar
biasa bagi pembangunan manusia Kalsel diantaranya:
- partisipasi masyarakat dalam pembangunan meningkat sehingga angka pengangguran dapat ditekan,
- produk daerah akan meningkat secara kuantitas dan kualitas sehingga daya saing daerah meningkat,
- ekonomi keluarga masyarakat Kalsel akan meningkat karena terbukanya peluang usaha sehingga taraf kesehatan yang lebih baik bisa terjangkau, masyarakat akan mendapatkan kue pembangunan sesuai dengan usahanya sehingga kesejahteraan yang berkeadilan bisa terwujud.
Kita barangkali perlu belajar dari
negeri China dimana China mampu mengurangi ekspor batubaranya dengan menaikkan pemakaian batu bara di dalam negeri untuk ketersedian energi listrik dalam negerinya,
justeru dengan pengutamaan kebutuhan dalam negeri tersebut China mampu
mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 9,6 persen per tahun sehingga
memberikan dampak ekonomi yang lebih luas bagi kemajuan industrinya. http://www.energi.lipi.go.id/utama.cgi?cetakartikel&1113015880
Meskipun demikian, ada satu hal yang
penting untuk dicatat bahwa dalam
mengubah paradigma pengelolaan sumber daya alam yang berorientasi pada nilai
energy tidaklah semudah membalik telapak tangan. Kita membutuhkan mesin-mesin
pembangkit listrik tenaga uap dengan nilai investasi yang besar ditengah
keterbatasan keuangan Negara.
Terkait dengan langkah ini, sejalan
dengan konsep bahwa Pembangunan ekonomi
daerah adalah suatu proses dimana
pemerintah daerah dan seluruh komponen masyarakat mengelola berbagai sumber
daya yang ada yang membentuk suatu pola
kemitraan untuk menciptakan suatu lapangan pekerjaan baru dan merangsang
perkembangan kegiatan ekonomi dalam daerah
tersebut (Blakely, 1989), maka perlu diciptakan wahana pembentukan
aliansi strategis (kerjasama/kemitraan strategis) yang melibatkan unsur
Pemerintah Derah sebagai facilitator dan
pembuat kebijakan serta penentu arah pembangunan di daerah, pihak
Swasta/BUMN/BUMD/Koperasi sebagai
investor / strategic partner serta perbankan sebagai financial support, guna
mempercepat pertumbuhan dan pembangunan ekonomi daerah.
Kerjasama ini penting, sebab hingga
saat ini umumnya pemerintah daerah di Indonesia masih menghadapi kendala dan
keterbatasan sumber-sumber penerimaan, sehingga ketersediaan dana untuk
pembiayaan pembangunan menjadi terbatas. Sebagaimana kita maklumi ketersediaan
alokasi anggaran dari APBD yang termuat dalam Pengeluaran pemerintah maupun alokasi dari APBN relative kecil dan
tidak akan mampu 100% mendanai proyek-proyek maupun program yang direncanakan
pemerintah daerah.
Adanya kendala dan keterbatasan
tersebut mengakibatkan peran pemerintah daerah dalam pembangunan khususnya
dalam menyediakan sarana dan prasarana publik, belum dapat terlaksana secara
optimal, apabila tidak mendapat dukungan dari elemen pembangunan lainnya.
Pola kerjasama/kemitraan ini
diharapkan dapat membantu memecahkan berbagai permasalahan yang dihadapi
pemerintah daerah dan swasta (investor) terutama dalam memperoleh akses mereka
ke lembaga keuangan untuk memperoleh bantuan permodalan sesuai dengan kebutuhan
pengembangan usaha yang mereka miliki. Kemitraan saat ini merupakan sebuah
keharusan dalam rangka mewujudkan berbagai kepentingan bersama dari berbagai
lembaga, sebagai bentuk pemecahan atas berbagai keterbatasan dan kendala yang
ada dalam meningkatkan pencapaian hasil.
Pengembangan di bidang infrastruktur
sangat penting karena merupakan problem utama pemerintah daerah, yang meliputi
sarana dan prasarana usaha seperti jalan, jembatan, bandara, pelabuhan, listrik,
telekomunikasi, air, hotel dan
perkantoran, sebagai elemen vital dalam mengembangkan kemandirian daerah. Pengembangan
infrastruktur akan menunjang kelancaran arus lalu lintas perdagangan dan
industri.
Ketersediaan sarana dan prasarana
dalam proses pembangunan daerah akan
memberikan kontribusi positif bagi peningkatan daya tarik investasi dan
industry daerah. Pengembangan infrastruktur (khususnya untuk pengembangan
sarana dan prasarana publik) ini tentunya membutuhkan dana yang besar. Dana
yang bersumber baik APBD maupun APBN sering kali belum mencukupi sehingga perlu
didukung oleh sektor swasta/BUMN/BUMD/Koperasi/investor dan perbankan.
Mengingat kompleksnya persoalan
pembangunan daerah ke depan, dimana pembangunan daerah tidak hanya didominasi
oleh pemerintah daerah, tetapi juga oleh sector swasta/BUMN/BUMD/Koperasi dan
lembaga keuangan/perbankan, maka dituntut interaksi dalam semua komponen yang
terlibat untuk mampu berkomunikasi dengan baik dengan kepala daerah agar kepala
daerah dapat memfasilitasi semua
pihak-pihak yang berkepentingan dalam pembangunan daerah tersebut.
Eksploitasi besar-besaran terhadap
kandungan bumi khususnya batubara akan mengancam kelangsungan penyediaan energi
listrik masa depan khususnya yang
menggunakan bahan bakar batubara jika tidak dilakukan upaya-upaya penghematan
atas kekayan alam tersebut.
Untuk mengendalikan eksploitasi
besar-besaran atas kandungan bumi khususnya batubara mutlak diperlukan
perubahan paradigma atas pengelolaan sumber daya alam saat ini dari nilai
komoditi menjadi nilai energi.
Dengan perubahan paradigma
pengelolaan energi primer menjadi nilai energi/ energy value maka mengharuskan Pemerintah/pemerintah daerah untuk
mencadangkan ketersediaan energi primer ini untuk kebutuhan energi listrik masa
depan, jika tidak maka investasi yang telah ditanamkan di sektor pembangkitan
tenaga listrik khususnya pembangkit listrik yang berbahan bakar batubara akan
menjadi idle dikemudian hari karena kurangnya
pasokan batubara terhadap pembangkit tersebut.
Pencadangan ketersediaan energi primer ini bukan hanya dilihat dari sisi
pengendalian jumlahnya saja,
tetapi yang lebih penting juga adalah pengendalian dari sisi harga jualnya
kepada PLN dengan tingkat marjin yang wajar agar dapat terjangkau oleh PLN
dalam arti tidak membebani kemampuan keuangan PLN untuk berinvestasi jangka
panjang.
Pemerintah/Pemerintah daerah dipacu untuk merangsang
investor untuk masuk ke daerah untuk mengembangkan industri di daerah agar
dapat menyerap energi listrik yang telah tersedia yang dihasilkan dari mesin
pembangkit tersebut untuk menghindari investasi yang “mubajir” dari sektor
ketenagalistrikan.
Pengembangan infrastruktur lainnya
seperti jalan, jembatan, bandara, pelabuhan, telekomunikasi, air, hotel dan perkantoran, mutlak diperlukan
untuk menunjang kelancaran arus Lalu lintas
perdagangan dan industri sehingga dapat meningkatkan daya tarik investasi dan
industry di daerah.
Sumber dana pembiayaan pengembangan infrastruktur ini tidak cukup hanya bersumber pada APBD maupun APBN sehingga perlu didukung oleh
sektor swasta/ BUMN /BUMD /Koperasi/investor dan perbankan
untuk pelaksanaannya. Oleh karenanya sejalan dengan semangat otonomi daerah,
kepala daerah dan pihak-pihak yang berkepentingan harus pro aktive satu dengan yang
lain untuk berinteraksi dan berkomunikasi
agar kepala daerah dapat memfasilitasi
semua kepentingan pihak-pihak tersebut untuk melaksanakan pembangunan di daerah
tersebut.
Dengan terfasilitasinya semua kepentingan pihak-pihak
yang terlibat dalam pembangunan daerah tersebut, diharapkan investor dapat masuk untuk mengembangkan industrinya di
daerah sehingga terbukanya lapangan kerja yang berdampak pada peningkatan kemampuan konsumsi masyarakat yang
berkontribusi pada peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah dan nasional, yang pada akhirnya juga akan berdampak langsung pada peningkatan
kesejahteraan rakyat.
0 komentar:
Posting Komentar