Minggu, 25 Agustus 2013

Opini



ENERGI LISTRIK DALAM HUBUNGANNYA DENGAN KETAHANAN ENERGI
DAN KETAHANAN EKONOMI SERTA KETERKAITANNYA DENGAN
KETERSEDIAAN SUMBER DAYA ALAM
DI KALIMANTAN SELATAN DAN KALIMANTAN TENGAH

oleh : 
H. KHAIRIL WAHYUNI, SH, MBA


PENDAHULUAN

Latar belakang:
Kalimantan dimana terletak propinsi Kalimantan Selatan dan Propinsi Kalimantan Tengah merupakan salah satu pulau  di Indonesia yang dianugerahi Allah SWT dengan kekayaan alam yang melimpah baik dari dalam perut buminya maupun di permukaannya. Kekayaan alam ini jika dikelola dengan baik akan bisa memberikan manfaat yang luar biasa besar baik bagi penduduk yang mendiaminya, maupun bagi Indonesia pada umumnya.  Manfaat ini akan bisa dirasakan tidak hanya oleh generasi sekarang, tetapi juga oleh generasi-generasi berikutnya.

Sayangnya potensi itu khususnya Kalimantan Selatan sekarang ini sedang terancam keberlangsungannya. Jangankan untuk generasi mendatang, generasi sekarangpun banyak yang tidak menikmati manfaatnya, hal ini dapat dirasakan dimana saat ini Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah sedang mengalami krisis energi listrik, yang seharusnya hal ini tidak boleh terjadi mengingat Kalimantan sangat kaya akan energi primer seperti minyak, gas, batu bara,  dsb  yang merupakan penggerak/bahan bakar energi listrik.
Penyebab utama terjadinya krisis energi listrik saat ini adalah karena adanya kesenjangan antara pasokan dan  kebutuhan energi listrik di daerah ini disebabkan karena rendahnya  kemampuan investasi oleh Pemerintah atau PLN.
Meskipun krisis ini akan berakhir di tahun 2010 ini dimana PLN / pemerintah telah mampu melakukan investasi atau sewa mesin-mesin pembangkit untuk memenuhi kebutuhan energi listrik daerah ini, namun hal ini bukanlah jaminan untuk  tidak akan mengalami krisis energi listrik lagi di kemudian hari. Hal ini disebabkan karena ketidakmampuan Pemerintah/Pemerintah Daerah dalam mengelola sumber daya alam khususnya energi primer/batubara untuk memenuhi kebutuhan pasokan Pembangkit Listrik Tenaga Uap/PLTU di Kalimantan ini untuk jangka panjang.
Dengan demikian kemampuan Pemerintah/PLN untuk berinvestasi di bidang pembangkitan belum menjamin terbebasnya Kalimantan Selatan dan Tengah dari krisis energi listrik di masa depan jika tidak diikuti dengan pengelolaan atas cadangan energi primer untuk kebutuhan pembangkit-pembangkit tersebut . 
 Ketersediaan cadangan energi primer  di Kalimantan khususnya di Kalimantan Selatan akan terancam di masa depan jika kita masih tetap mengeksploitasi besar-besaran terhadap kandungan bumi tersebut seperti sekarang ini tanpa memperhatikan kebutuhan pasokan pembangkit Listrik Tenaga Uap untuk masa depan. Ini berarti ketidakmampuan kita dalam mengelola energi primer  khususnya batu bara yang merupakan anugerah Allah untuk kesejahteraan rakyat kalimantan di masa depan.
Belajar pada pengalaman masa lalu dan yang sedang berjalan sekarang ini dalam  pengelolaan sumber daya alam kita khususnya batubara yang lebih berorientasi pada kepentingan swasta dengan mengejar keuntungan jangka pendek tanpa memperhatikan unsur pelayanan publik atas pengelolaan energi primer tersebut ternyata pengelolaan tersebut tidak mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat kalimantan khususnya Kalimantan Selatan bahkan yang diperoleh adalah kerusakan lingkungan yang menderitakan masyarakat kalimantan selatan yang ditimbulkan dari pengelolaan sumber daya alam ini. (red. Kelimantan Selatan berada pada peringkat 26 dari 33 provinsi untuk indeks pembangunan manusia).

PERSOALAN
Berdasarkan uraian di atas timbul pertanyaan besar dalam pengelolaan sumber daya alam kita khususnya batubara ini di masa depan yaitu untuk siapa sebetulnya kekayaan alam Kalimantan ini?, apakah masih ada keberpihakan untuk pelayanan publik ataukah hanya untuk kepentingan yang hanya terpusat pada segelintir kelompok saja?. Lantas bagaimana kita mengelola kekayaan alam ini yang berorientasi pada pelayanan publik yang mampu menjadi penggerak utama ekonomi seperti pertanian, perikanan, perdagangan dan industrialisasi hasil-hasil pertanian, perikanan dan kekayaan alam lain serta bidang usaha lainya?

PEMBAHASAN
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJPN) 2005–2025 telah menetapkan visi pembangunan, yaitu “Indonesia yang Maju, Mandiri dan  Adil”.
Visi dan  misi pembangunan tersebut harus menjadi kerangka dasar dalam pengambilan keputusan jangka menengah maupun jangka pendek. Dalam dokumen RPJPN 2005–2025, proses pencapaian visi dan misi nasional dilakukan melalui penahapan lima tahunan.   
Dalam proses tersebut, sebagaimana diketahui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010–2014 merupakan tahapan kedua dengan penekanan prioritas pada peningkatan kualitas  sumber daya manusia termasuk pengembangan kemampuan ilmu dan teknologi serta penguatan daya saing perekonomian.
Saat ini, RPJMN 2010–2014 telah ditetapkan melalui Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 yang menjadi pegangan pemerintah pada semua tingkatan untuk melaksanakan pembangunan selama lima tahun mendatang. 
Visi Indonesia tahun 2014 dalam RPJMN 2010–2014 adalah “TERWUJUDNYA INDONESIA YANG SEJAHTERA, DEMOKRATIS, DAN  BERKEADILAN.”
Upaya mewujudkan peningkatan kesejahteraan rakyat akan dilakukan melalui pembangunan ekonomi yang berlandaskan pada keunggulan daya saing, kekayaan sumber daya alam, sumber daya manusia dan  budaya bangsa.
Dengan demikian berbicara tentang peningkatan kesejahteraan rakyat tidak terlepas dengan keunggulan daya saing daerah, pengelolaan kekayaan sumber daya alam, peningkatan kualitas sumber daya manusia dan mempertahankan nilai-nilai budaya bangsa.
 Kita akan mempunyai keunggulan komparatif baik secara regional maupun internasional jika kita mampu mengelola kekayaan sumber daya alam yang kita miliki secara effisien, effektif, dan optimal dan mampu meningkatkan kualitas sumber daya manusia kita dengan tetap berpegang pada jati diri budaya bangsa kita.
Oleh karenanya dalam pembahasan ini saya lebih menekankan pada pengelolaan sumber daya alamnya untuk meningkatkan daya saing daerah sehingga mampu meningkatkan pembangunan ekonomi yang pada akhirnya mampu meningkatkan kualitas sumber daya manusia tersebut.
Kalimantan Selatan merupakan provinsi yang dianugerahi Allah dengan kekayaan alam yang melimpah baik dari dalam perut buminya maupun di permukaannya. Secara matematis, kekayaan ini seharusnya cukup untuk membuat masyarakat Kalsel sejahtera. Namun pada realitanya, masyarakat Kalsel belum sejahtera. Hal ini bisa dilihat dari berbagai parameter diantaranya adalah Index Pembangunan Manusia (IPM).
 Saat ini IPM Kalsel berada di peringkat 26 dari 33 provinsi. Hal ini merupakan indikasi bahwa tingkat pendidikan, kesehatan serta kemampuan ekonomi masyarakat Kalsel masih sangat rendah dibandingkan provinsi lain di Indonesia. Hanya ada satu hal yang bisa menjelaskan mengapa terjadi kontradiksi antara melimpahnya kekayaan alam Kalsel dan rendahnya IPM Kalsel, yaitu tidak berjalannya sistem pengelolaan sumber daya alam yang optimal.
Kontribusi sektor pertambangan yang masih mendominasi perekonomian daerah dimana hampir 25,62% dari PDRB Kalimantan Selatan berasal dari sektor pertambangan, ini menunjukkan bahwa telah terjadi ekploitasi besar-besaran terhadap kandungan bumi Kalsel. Fenomena ini menunjukkan bahwa saat ini paradigma yang digunakan dalam mengelola sumber daya alam adalah melihat kekayaan alam dari sisi commodity value. Artinya kekayaan alam Kalsel hanya dinilai dari harga jualnya sehingga orientasinya hanya menjual saja tanpa adanya usaha untuk memanfaatkannya secara maksimal.
Sebagaimana layaknya suatu perdagangan, karena yang dikejar adalah bagaimana mendapatkan uang sebanyak-banyaknya, maka pasar mana yang paling menguntungkan itulah yang akan diprioritaskan. Sebagai imbasnya, karena ternyata pasar ekspor jauh lebih menjanjikan keuntungan daripada pasar domestik, maka harga dalam negeri mau tidak mau juga akan merangkak naik seiring naiknya harga ekspor.
Tingginya harga batubara di dalam negeri ini membawa dampak besar terhadap ekonomi secara luas. Hal ini terjadi karena tingginya harga batubara mendongkrak biaya produksi dari industri yang menggunakan batubara sebagai bahan bakarnya yang akhirnya menyebabkan tingginya harga hasil produksi. Yang lebih parahnya lagi, tingginya harga ini ternyata masih juga tidak bisa menjamin keberlangsungan pasokan batubara domestik karena produsen lebih mementingkan pasar ekspor daripada pasar domestik karena sudah terikat konrak dengan pembeli dari luar negeri yang disebabkan  karena adanya selisih harga ekspor dan domestik yang jauh lebih menarik pasar ekspor.
Di sisi lain, penerapan paradigma pengelolaan batubara sebagai komoditi ini telah memicu penambangan besar-besaran tanpa kendali yang mengakibatkan  rusaknya lingkungan alam Kalimantan Selatan dan terancamnya kelangsungan penyediaan energy masa depan.

 Tidak dipungkiri bahwa cara pengelolaan sumber daya alam yang commodity oriented seperti yang diterapkan selama ini dalam skala tertentu memang telah berhasil membiayai pembangunan Kalsel. Namun Karena penambangan adalah sektor padat modal yang hanya menyerap sedikit angkatan kerja maka mengakibatkan hasil eksploitasi sumber daya alam hanya terpusat pada segelintir kelompok sementara sebagian besar lainnya tidak merasakan manfaatnya. Akibat lebih lanjut adalah terjadinya pertumbuhan ekonomi semu, yaitu secara statistik ekonomi daerah naik (karena kontribusi sektor pertambangan) tapi pada kenyataannya tingkat kesejahteraan masyarakat rendah selain menciptakan pertumbuhan ekonomi semu seperti tersebut di atas, hal itu juga akan terlihat sangat tidak sepadan jika dibandingkan dengan dampak yang ditimbulkannya.
Contoh kecil dari daftar panjang dampak eksploitasi penambangan ini antara lain adalah; terkuras habisnya cadangan batubara kita sehingga kita akan kekurangan pasokan batubara untuk pembangkit-pembangkit listrik kita, terancamnya kelestarian hutan yang merupakan sumber air penting dan juga merupakan paru-paru dunia karena penambangan batubara yang ada di bawahnya, berkurangnya lahan-lahan produktif dari tahun ke tahun, rusaknya lingkungan karena lubang-lubang bekas galian batubara yang ditinggalkan begitu saja oleh penambang, pencemaran lingkungan akibat aktivitas penambangan seperti debu, rembesan air asam tambang, serta limbah pencuciannya yang mencemari air/sungai yang dimanfaatkan oleh warga.
Mantan menteri ESDM, Purnomo Yusgiantoro dalam salah satu siaran persnya di awal 2009 menyatakan bahwa jumlah sumber daya batu bara kalimantan Selatan sebesar 12 miliar ton dengan cadangan mencapai 1.669 miliar ton. Sedangkan produksi batu bara tahun 2008 adalah sebesar 68.2 juta, yang sebagian besar yakni 48.3 juta ton diekspor dan sisanya 19,9 juta ton untuk kebutuhan dalam negeri.  Pada tahun-tahun mendatang, diperkirakan rata-rata produksi berkisar 95 juta ton per tahun (Sumber : http://www.mediaindonesia.com/read/2009/01/07/54822/21/2/Produksi-Batu-Bara-Kalsel-Berpotensi-Meningkat). Jika data ini dijadikan sebagai acuan, maka cadangan batu bara Kalimantan Selatan  hanya mampu bertahan selama kurang lebih 18 tahun dengan asumsi produksi rata-rata per tahun adalah sebesar 95 juta ton.
Delapan belas tahun bukanlah waktu yang lama. Apa yang akan terjadi jika kalkulasi di atas benar-benar terjadi? Hal yang sudah di depan mata tentu saja adalah kita akan kekurangan pasokan batu bara untuk pembangkit-pembangkit listrik kita yang menggunakan bahan bakar batu bara. Sementara di sisi lain, umur ekonomis pembangkit–pembangkit tersebut masih tersisa. Hal ini memaksa kita untuk memenuhi kebutuhan pasokan batu bara tersebut dari daerah luar Kalimantan Selatan, baik dari dalam maupun luar negeri. Hal tersebut mengakibatkan Kalimantan Selatan sudah tidak mempunyai keunggulan kompetitif jika dibandingkan dengan daerah lainnya di Indonesia
Untuk menghindari terjadinya krisis pasokan batubara ke pembangkit PLN di kemudian hari,  maka hal pertama dan mendasar yang harus dilakukan adalah diubahnya paradigma pengelolaan sumber daya alam yang memandang kekayaan alam dari commodity value menjadi energy value, yaitu pengelolaan dengan memanfaatkannya sebagai sumber energi.  Energi yang dihasilkan inilah yang nantinya akan menggerakkan sektor-sektor ekonomi seperti industri berbasis pertanian, perikanan, hasil hutan, pertambangan, perdagangan, jasa dan sebagainya. Energi ini juga yang nantinya akan dijual keluar untuk menaikkan daya saing daerah, dan bukan lagi batubaranya.
Dengan perubahan paradigma pengelolaan energi primer menjadi energi value maka mengharuskan Pemerintah/pemerintah daerah untuk mencadangkan ketersediaan energi primer ini untuk kebutuhan energi listrik masa depan, jika tidak maka investasi yang telah ditanamkan di sektor pembangkitan tenaga listrik akan menjadi idle dikemudian hari karena kurangnya  pasokan batubara terhadap pembangkit tersebut.
Pencadangan ketersediaan energi primer ini bukan hanya dilihat dari sisi pengendalian jumlahnya saja, tetapi yang lebih penting juga adalah siapa yang menguasai tambang batubara tersebut. Pentingnya penguasaan atas tambang ini adalah untuk mengetahui keberpihakan pemilik tambang ini dengan penyediaan energi masa depan Kalimantan khususnya dan Indonesia pada umunya. Jangan sampai pemilik tambang dengan semaunya saja menetapkan harga jualnya kepada PLN yang mengakibatkan ketidakmampuan PLN untuk memberli batubara tersebut, ini berarti juga sama dengan kelangkaan pasokan batubara atas pembangkit PLN tersebut. Oleh karenanya ke depan perlu ada pengaturan mengenai harga ini untuk kepentingan domestik khususnya berapa besaran marjin yang diperbolehkan sehingga diharapkan tidak ada lagi ”petualang-petualang” tambang yang ”bermain” menciptakan harga pasar yang sangat tidak logis dari sisi keuntungannya.
Selain itu Pemerintah/Pemerintah Daerah harus sudah melakukan penelitian atau sudah harus mengembangkan energi alternative seperti air, matahari, angin, panas bumi dsb untuk memenuhi kebutuhan listrik masa depan untuk mengantisipasi habisnya cadangan energi yang berasal dari energi fossil.
Disisi lain Pemerintah/Pemerintah daerah dipacu untuk merangsang investor untuk masuk ke daerah tersebut untuk mengembangkan industri di daerah tersebut agar dapat menyerap energi listrik yang telah tersedia yang dihasilkan dari mesin pembangkit tersebut. Jika tidak maka investasi di sektor ketenagalistrikan yang telah tersedia menjadi idle karena tidak terserapnya kapasitas terpasang dari  mesin pembangkit tersebut.

Dengan masuknya investor untuk masuk menanamkan investasinya dalam industri-industri yang berhubungan dengan kekuatan lokal, maka akan mendorong  sektor-sektor ekonomi non tambang menjadi bergairah dan akan membawa efek domino yang luar biasa bagi pembangunan manusia Kalsel diantaranya:
  • partisipasi masyarakat dalam pembangunan meningkat sehingga angka pengangguran dapat ditekan,
  • produk daerah akan meningkat secara kuantitas dan kualitas sehingga daya saing daerah meningkat, 
  • ekonomi keluarga masyarakat Kalsel akan meningkat karena terbukanya peluang usaha sehingga taraf kesehatan yang lebih baik bisa terjangkau, masyarakat akan mendapatkan kue pembangunan sesuai dengan usahanya sehingga kesejahteraan yang berkeadilan bisa terwujud.

Kita barangkali perlu belajar dari negeri China dimana China mampu mengurangi ekspor batubaranya dengan menaikkan pemakaian batu bara di dalam negeri untuk  ketersedian energi listrik dalam negerinya, justeru dengan pengutamaan kebutuhan dalam negeri tersebut  China mampu  mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 9,6 persen per tahun sehingga memberikan dampak ekonomi yang lebih luas bagi kemajuan industrinya. http://www.energi.lipi.go.id/utama.cgi?cetakartikel&1113015880

Meskipun demikian, ada satu hal yang penting untuk dicatat  bahwa dalam mengubah paradigma pengelolaan sumber daya alam yang berorientasi pada nilai energy tidaklah semudah membalik telapak tangan. Kita membutuhkan mesin-mesin pembangkit listrik tenaga uap dengan nilai investasi yang besar ditengah keterbatasan keuangan Negara.

Terkait dengan langkah ini, sejalan dengan konsep bahwa Pembangunan ekonomi  daerah  adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan seluruh komponen masyarakat mengelola berbagai sumber daya  yang ada yang membentuk suatu pola kemitraan untuk menciptakan suatu lapangan pekerjaan baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi dalam daerah  tersebut (Blakely, 1989), maka perlu diciptakan wahana pembentukan aliansi strategis (kerjasama/kemitraan strategis) yang melibatkan unsur Pemerintah Derah  sebagai facilitator dan pembuat kebijakan serta penentu arah pembangunan di daerah, pihak Swasta/BUMN/BUMD/Koperasi  sebagai investor / strategic partner serta perbankan sebagai financial support, guna mempercepat pertumbuhan dan pembangunan ekonomi daerah.

Kerjasama ini penting, sebab hingga saat ini umumnya pemerintah daerah di Indonesia masih menghadapi kendala dan keterbatasan sumber-sumber penerimaan, sehingga ketersediaan dana untuk pembiayaan pembangunan menjadi terbatas. Sebagaimana kita maklumi ketersediaan alokasi anggaran dari APBD yang termuat dalam Pengeluaran pemerintah  maupun alokasi dari APBN relative kecil dan tidak akan mampu 100% mendanai proyek-proyek maupun program yang direncanakan pemerintah daerah.
Adanya kendala dan keterbatasan tersebut mengakibatkan peran pemerintah daerah dalam pembangunan khususnya dalam menyediakan sarana dan prasarana publik, belum dapat terlaksana secara optimal, apabila tidak mendapat dukungan dari elemen pembangunan lainnya.

Pola kerjasama/kemitraan ini diharapkan dapat membantu memecahkan berbagai permasalahan yang dihadapi pemerintah daerah dan swasta (investor) terutama dalam memperoleh akses mereka ke lembaga keuangan untuk memperoleh bantuan permodalan sesuai dengan kebutuhan pengembangan usaha yang mereka miliki. Kemitraan saat ini merupakan sebuah keharusan dalam rangka mewujudkan berbagai kepentingan bersama dari berbagai lembaga, sebagai bentuk pemecahan atas berbagai keterbatasan dan kendala yang ada dalam meningkatkan pencapaian hasil.

Pengembangan di bidang infrastruktur sangat penting karena merupakan problem utama pemerintah daerah, yang meliputi sarana dan prasarana usaha seperti jalan, jembatan, bandara, pelabuhan, listrik, telekomunikasi,  air, hotel dan perkantoran, sebagai elemen vital dalam mengembangkan kemandirian daerah.  Pengembangan infrastruktur akan menunjang kelancaran arus lalu lintas perdagangan dan industri.

Ketersediaan sarana dan prasarana dalam proses pembangunan daerah  akan memberikan kontribusi positif bagi peningkatan daya tarik investasi dan industry daerah. Pengembangan infrastruktur (khususnya untuk pengembangan sarana dan prasarana publik) ini tentunya membutuhkan dana yang besar. Dana yang bersumber baik APBD maupun APBN sering kali belum mencukupi sehingga perlu didukung oleh sektor swasta/BUMN/BUMD/Koperasi/investor dan perbankan.

Mengingat kompleksnya persoalan pembangunan daerah ke depan, dimana pembangunan daerah tidak hanya didominasi oleh pemerintah daerah, tetapi juga oleh sector swasta/BUMN/BUMD/Koperasi dan lembaga keuangan/perbankan, maka dituntut interaksi dalam semua komponen yang terlibat untuk mampu berkomunikasi dengan baik dengan kepala daerah agar kepala daerah dapat  memfasilitasi semua pihak-pihak yang berkepentingan dalam pembangunan daerah tersebut.


KESIMPULAN
Eksploitasi besar-besaran terhadap kandungan bumi khususnya batubara akan mengancam kelangsungan penyediaan energi listrik  masa depan khususnya yang menggunakan bahan bakar batubara jika tidak dilakukan upaya-upaya penghematan atas kekayan alam tersebut.

Untuk mengendalikan eksploitasi besar-besaran atas kandungan bumi khususnya batubara mutlak diperlukan perubahan paradigma atas pengelolaan sumber daya alam saat ini dari nilai komoditi menjadi nilai energi.

Dengan perubahan paradigma pengelolaan energi primer menjadi nilai energi/ energy value maka mengharuskan Pemerintah/pemerintah daerah untuk mencadangkan ketersediaan energi primer ini untuk kebutuhan energi listrik masa depan, jika tidak maka investasi yang telah ditanamkan di sektor pembangkitan tenaga listrik khususnya pembangkit listrik yang berbahan bakar batubara akan menjadi idle dikemudian hari karena kurangnya  pasokan batubara terhadap pembangkit tersebut.

Pencadangan ketersediaan energi primer ini bukan hanya dilihat dari sisi pengendalian jumlahnya saja, tetapi yang lebih penting juga adalah pengendalian dari sisi harga jualnya kepada PLN dengan tingkat marjin yang wajar agar dapat terjangkau oleh PLN dalam arti tidak membebani kemampuan keuangan PLN untuk berinvestasi jangka panjang.
Pemerintah/Pemerintah daerah dipacu untuk merangsang investor untuk masuk ke daerah untuk mengembangkan industri di daerah agar dapat menyerap energi listrik yang telah tersedia yang dihasilkan dari mesin pembangkit tersebut untuk menghindari investasi yang “mubajir” dari sektor ketenagalistrikan.
Pengembangan infrastruktur lainnya seperti jalan, jembatan, bandara, pelabuhan, telekomunikasi,  air, hotel dan perkantoran, mutlak diperlukan untuk  menunjang kelancaran arus Lalu lintas perdagangan dan industri sehingga dapat meningkatkan daya tarik investasi dan industry di daerah.

Sumber dana pembiayaan pengembangan infrastruktur ini tidak cukup hanya bersumber pada  APBD maupun APBN sehingga perlu didukung oleh sektor swasta/ BUMN /BUMD /Koperasi/investor dan perbankan untuk pelaksanaannya. Oleh karenanya sejalan dengan semangat otonomi daerah, kepala daerah dan pihak-pihak yang berkepentingan harus pro aktive satu dengan yang lain untuk  berinteraksi dan berkomunikasi agar kepala daerah dapat  memfasilitasi semua kepentingan pihak-pihak tersebut untuk melaksanakan pembangunan di daerah tersebut.
Dengan terfasilitasinya semua kepentingan pihak-pihak yang terlibat dalam pembangunan daerah tersebut, diharapkan investor dapat  masuk untuk mengembangkan industrinya di daerah sehingga terbukanya lapangan kerja yang berdampak pada   peningkatan kemampuan konsumsi masyarakat yang berkontribusi  pada peningkatan  pertumbuhan ekonomi daerah dan nasional,  yang pada akhirnya juga  akan berdampak langsung pada peningkatan kesejahteraan rakyat.

0 komentar:

Posting Komentar