Kamis, 17 Mei 2012

SEJARAH : 17 MEI 1949 KEMERDEKAAN KALSEL

(Media, KWKS), Menjelang dan sesudah dikumandangkan Proklamasi 17 Mei, situasi dan kondisi Kalimantan Selatan (Residentie Zuid van Borneo) pada bulan-bulan pertama 1949, mencerminkan adanya kemajuan besar yang diperoleh para gerilyawan dalam menyerang dan mendesak kedudukan KNIL (Koninklijk Nederlands Indisch Leger), KL (Koninklijk Leger) dan Polisi NICA (Nederlands lndisch Civil Administration), sehingga secara de facto mempunyai kekuasaan teritorial yang besar dan semakin cepat meluas.
Kemajuan tersebut tidaklah lahir dengan tiba-tiba, tetapi dicapai setelah melalui proses yang panjang dan penuh liku-liku. Proses tersebut bagaikan riak gelombang sebuah sungai yang secara progresif terus mengalir menuju muara, yakni muara kemerdekaan.

Ada beberapa patokan yang bisa diangkat kepermukaan yang mencerminkan situasi dan kondisi perjuangan pada bulan-bulan pertama 1949.

1. Patokan Pertama

Patokan Pertama adalah keberhasilan ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan dalam mengkonsolidasikan para gerilyawan. Jauh sebelumnya, setelah Agustus 1945, para gerilyawan telah membentuk organisasi kelaskaran yang terpisah-pisah dan ilegal. Namun, usaha tersebut tidak dapat berbuat banyak dalam membendung dan mengusir Belanda (NICA) yang kembali ke Kalimantan Selatan. Sebabnya antara lain lantaran kurangnya koordinasi antar organisasi kelaskaran itu sendiri.

Bertitik tolak dari pengalaman itulah, maka bagi ALRI Divisi IV sebagai organisasi kelaskaran terbesar kala itu, memandang perlu untuk menyatukan semua gerak langkah perjuangan guna menghadapi Belanda dan kolaboratornya secara lebih efektif dan efisien, yakni dengan jalan mengkonsolidasikan semangat rakyat, organisasi perjuangan terutama kelaskaran, dan memperbaharui susunan formasi yang ada. Dengan demikian, ALRI Divisi IV tidak dapat membenarkan lahirnya organisasi perjuangan yang baru di luar ALRI.

Untuk kepentingan tersebut, sampai akhir 1948, ALRI dengan jalan musyawarah telah berhasil merangkul sebagian besar anggota kelaskaran untuk bersama-sama melawan Belanda. Jalan kekerasan dengan ditunjang oleh operasi teritorial, kadangkala juga dilaksanakan terutama dalam menghadapi organisasi kelaskaran yang kontra republik.

Usaha konsolidasi semakin mendesak setelah dikumandangkannya Proklamasi Pembentukan Pemerintahan Gubernur Tentara ALRl Divisi IV pada tanggal 17 Mei 1949. Letkol Hassan Basry dalam kedudukannya sebagai gubernur tentara maupun pimpinan komando divisi, telah mengirim utusan-utusannya untuk menindak atau membicarakan masalah penggabungan organisasi kelaskaran ke dalam tubuh ALRI, sehingga sampai Agustus 1949, beberapa organisasi kelaskaran seperti Pasukan Kucing Hitam, Pasukan Lawung, dan Mandau Telabang Kalimantan Indonesia (MTKI) Hulu Sungai, serta Gerakan Revolusi Rakyat Indonesia (GRRI) telah menyerah dan/atau mau menggabungkan diri ke dalam tubuh ALRI Divisi IV.

2. Patokan Kedua

Patokan kedua, adalah keberhasilan para gerilyawan dalam menyerang kedudukan Belanda, sehingga memiliki kekuasaan teritorial yang luas. Keberhasilan tersebut seiring dengan keberhasilan usaha-usaha konsolidasi yang telah dilaksanakan oleh ALRI. Maka dengan terpusatnya semua kekuatan di tubuh ALRI menyebabkan daya serangnya semakin menghebat. Hal itulah yang menyebabkan pihak gerilyawan memperoleh kemenangan di berbagai pertempuran.

Akibat adanya tekanan dari pihak gerilyawan, maka Belanda mulai menarik pos-pos militernya yang terpencil dan memusatkan kekuatan di kota-kota dengan tujuan mempermudah komunikasi dan memperpendek jarak pengangkutan kebutuhan peralatan.

Bagi gerilyawan, tindakan Belanda tersebut justru menguntungkan perjuangan bersenjata. Sebab, selain memperoleh kekuasaan teritorial, maka ditinjau dari sudut psikologis, maka optimisme dan kebanggaan para gerilyawan semakin meningkat. Sejak itulah, secara de facto gerilyawan telah menguasai seluruh daerah Kalimantan Selatan minus kota-kota yang diduduki oleh Belanda.

Adanya keberhasilan pada gerilyawan dalam menekan Belanda, telah menjadi pendorong munculnya Proklamasi Pembentukan Pemerintahan Gubernur Tentara ALRI pada tanggal 17 Mei 1949. Pembentukan itu sendiri, juga disebabkan oleh adanya implikasi Persetujuan Linggarjati, adanya kenyataan vakumnya pemerintahan sipil di daerah-daerah yang ditinggalkan Belanda dan yang lebih penting lagi adalah agar keberadaan, kekuatan, dan kemampuan ALRI Divisi IV diakui, serta Kalimantan Selatan tetap menjadi bagian yang tak terpisahkan dari wilayah Republik Indonesia.


Terbentuknya Pemerintah Gubernur Tentara ALRI merupakan sebuah momentum yang sangat penting yang pernah dicapai oleh para gerilyawan dalam menghadapi atau menekan Belanda melalui pengembangan dan penyebarluasan kekuatannya ke bidang politik, sosial, dan ekonomi, sehingga sejak 17 Mei 1949, telah terjadi dualisme pemerintahan dan kekuasaan teritorial yang mana pihak pemerintah Gubernur Tentara ALRI lebih berkuasa dibandingkan dengan pihak Belanda.

Kepopulerannya telah menyebabkan segala perintah dilaksanakan oleh rakyat.
Hal tersebut antara lain terjadi ketika adanya larangan pergi haji, dan perintah mengadakan pemogokan umum. Bahkan di kota Kandangan, rakyat dengan sukarela meninggalkan rumah, harta dan pekerjaannya untuk hijrah ke daerah pedalaman yang dikuasai gerilyawan, yang batasnya hanya dua kilometer dari kota tersebut.

3. Patokan Ketiga

Patokan Ketiga adalah sikap defensif Belanda terhadap tekanan-tekanan para gerilyawan. Sebagaimana diterangkan sebelumnya, Belanda telah menarik dan memusatkan kekuatannya di kota-kota. Hal tersebut berarti, Belanda sebagian besar telah kehilangan inisiatif untuk menyerang posisi-posisi gerilyawan. Pasukan KNIL, KL, maupun polisi NICA hanya mungkin melakukan perjalanan di pedalaman dalam konvoi dan pengawalan yang ekstra. Di Banjarmasin sendiri, mereka harus waspada terhadap serangan-serangan gerilyawan.

Seorang sejarawan bernama Cornelis van Dijk pernah menyatakan, bahwa sesungguhnya dalam paruh kedua tahun 1949 ALRI Divisi IV telah bersimaharajalela dan benar-benar dapat melumpuhkan pemerintahan NICA di Kalimantan Selatan, termasuk di dalamnya keberhasilan menggagalkan pembentukan Negara Borneo.

Sedemikian gawatnya situasi pada waktu itu, menyebabkan Residen A.G. Deelman dan Teritorial Commandant-nya yakni Letkol H.J.Veenendal harus tidur di kapal perang yang berlabuh di pelabuhan Banjarmasin. Bahkan untuk pelarian darurat orang-orang Belanda, telah dipersiapkan kapal-kapal kecil di pelabuhan tersebut.

Memang pihak Belanda selalu berusaha menutup-nutupi pemberitaan tentang kegiatan gerilya tersebut, agar terdapat kesan bahwa sebenarnya secara de facto maupun de jure Kalimantan Selatan benar-benar di bawah kekuasaan Belanda. Namun hal tersebut tidak dapat mengatasi keadaan.

Adanya serangan gencar para gerilyawan yang diekspose antara lain oleh Harian Kalimantan Berjuang, telah menyebabkan Belanda tidak bisa menjalankan pemerintahannya dan dengan terpaksa harus menepiskan rasa malunya untuk “meminta” gencatan senjata (cease fire) di Kalimantan Selatan kepada Pemerintah Republik Indonesia di Yogyakarta. Padahal, secara sadar dan resmi, Pemerintah Republik Indonesia melalui Persetujuan Linggarjati dan Renville telah meninggalkan dan melupakan Kalimantan.

Dapat dikatakan, sebelum dilaksanakannya Pertemuan di Munggu Raya (September 1949) untuk membicarakan cease fire dimaksud, maka bulan Agustus 1949 adalah puncak kekalahan Belanda dan sebaliknya puncak kemenangan gerilya dan rakyat Kalimantan Selatan menuju muara kemerdekaan.(Redaksi KWKS)

0 komentar:

Posting Komentar