(Media, KWKS), Menjelang dan sesudah dikumandangkan Proklamasi 17 Mei, situasi dan
kondisi Kalimantan Selatan (Residentie Zuid van Borneo) pada bulan-bulan
pertama 1949, mencerminkan adanya kemajuan besar yang diperoleh para
gerilyawan dalam menyerang dan mendesak kedudukan KNIL (Koninklijk
Nederlands Indisch Leger), KL (Koninklijk Leger) dan Polisi NICA
(Nederlands lndisch Civil Administration), sehingga secara de facto
mempunyai kekuasaan teritorial yang besar dan semakin cepat meluas.
Kemajuan tersebut tidaklah lahir dengan tiba-tiba, tetapi dicapai
setelah melalui proses yang panjang dan penuh liku-liku. Proses tersebut
bagaikan riak gelombang sebuah sungai yang secara progresif terus
mengalir menuju muara, yakni muara kemerdekaan.
Ada beberapa patokan yang bisa diangkat kepermukaan yang mencerminkan
situasi dan kondisi perjuangan pada bulan-bulan pertama 1949.
1. Patokan Pertama
Patokan Pertama adalah keberhasilan ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan dalam mengkonsolidasikan para gerilyawan. Jauh sebelumnya, setelah Agustus 1945, para gerilyawan telah membentuk
organisasi kelaskaran yang terpisah-pisah dan ilegal. Namun, usaha
tersebut tidak dapat berbuat banyak dalam membendung dan mengusir
Belanda (NICA) yang kembali ke Kalimantan Selatan. Sebabnya antara lain
lantaran kurangnya koordinasi antar organisasi kelaskaran itu sendiri.
Bertitik tolak dari pengalaman itulah, maka bagi ALRI Divisi IV sebagai
organisasi kelaskaran terbesar kala itu, memandang perlu untuk
menyatukan semua gerak langkah perjuangan guna menghadapi Belanda dan
kolaboratornya secara lebih efektif dan efisien, yakni dengan jalan
mengkonsolidasikan semangat rakyat, organisasi perjuangan terutama
kelaskaran, dan memperbaharui susunan formasi yang ada. Dengan demikian,
ALRI Divisi IV tidak dapat membenarkan lahirnya organisasi perjuangan
yang baru di luar ALRI.
Untuk kepentingan tersebut, sampai akhir 1948, ALRI dengan jalan
musyawarah telah berhasil merangkul sebagian besar anggota kelaskaran
untuk bersama-sama melawan Belanda. Jalan kekerasan dengan ditunjang
oleh operasi teritorial, kadangkala juga dilaksanakan terutama dalam
menghadapi organisasi kelaskaran yang kontra republik.
Usaha konsolidasi semakin mendesak setelah dikumandangkannya Proklamasi
Pembentukan Pemerintahan Gubernur Tentara ALRl Divisi IV pada tanggal 17
Mei 1949. Letkol Hassan Basry dalam kedudukannya sebagai gubernur
tentara maupun pimpinan komando divisi, telah mengirim utusan-utusannya
untuk menindak atau membicarakan masalah penggabungan organisasi
kelaskaran ke dalam tubuh ALRI, sehingga sampai Agustus 1949, beberapa
organisasi kelaskaran seperti Pasukan Kucing Hitam, Pasukan Lawung, dan
Mandau Telabang Kalimantan Indonesia (MTKI) Hulu Sungai, serta Gerakan
Revolusi Rakyat Indonesia (GRRI) telah menyerah dan/atau mau
menggabungkan diri ke dalam tubuh ALRI Divisi IV.
2. Patokan Kedua
Patokan kedua, adalah keberhasilan para gerilyawan dalam menyerang
kedudukan Belanda, sehingga memiliki kekuasaan teritorial yang luas.
Keberhasilan tersebut seiring dengan keberhasilan usaha-usaha
konsolidasi yang telah dilaksanakan oleh ALRI. Maka dengan terpusatnya
semua kekuatan di tubuh ALRI menyebabkan daya serangnya semakin
menghebat. Hal itulah yang menyebabkan pihak gerilyawan memperoleh
kemenangan di berbagai pertempuran.
Akibat adanya tekanan dari pihak gerilyawan, maka Belanda mulai menarik
pos-pos militernya yang terpencil dan memusatkan kekuatan di kota-kota
dengan tujuan mempermudah komunikasi dan memperpendek jarak pengangkutan
kebutuhan peralatan.
Bagi gerilyawan, tindakan Belanda tersebut justru menguntungkan
perjuangan bersenjata. Sebab, selain memperoleh kekuasaan teritorial,
maka ditinjau dari sudut psikologis, maka optimisme dan kebanggaan para
gerilyawan semakin meningkat. Sejak itulah, secara de facto gerilyawan
telah menguasai seluruh daerah Kalimantan Selatan minus kota-kota yang
diduduki oleh Belanda.
Adanya keberhasilan pada gerilyawan dalam menekan Belanda, telah menjadi
pendorong munculnya Proklamasi Pembentukan Pemerintahan Gubernur
Tentara ALRI pada tanggal 17 Mei 1949. Pembentukan itu sendiri, juga
disebabkan oleh adanya implikasi Persetujuan Linggarjati, adanya
kenyataan vakumnya pemerintahan sipil di daerah-daerah yang ditinggalkan
Belanda dan yang lebih penting lagi adalah agar keberadaan, kekuatan,
dan kemampuan ALRI Divisi IV diakui, serta Kalimantan Selatan tetap
menjadi bagian yang tak terpisahkan dari wilayah Republik Indonesia.
Terbentuknya Pemerintah Gubernur Tentara ALRI merupakan sebuah momentum
yang sangat penting yang pernah dicapai oleh para gerilyawan dalam
menghadapi atau menekan Belanda melalui pengembangan dan penyebarluasan
kekuatannya ke bidang politik, sosial, dan ekonomi, sehingga sejak 17
Mei 1949, telah terjadi dualisme pemerintahan dan kekuasaan teritorial
yang mana pihak pemerintah Gubernur Tentara ALRI lebih berkuasa
dibandingkan dengan pihak Belanda.
Kepopulerannya telah menyebabkan segala perintah dilaksanakan oleh rakyat.
Hal tersebut antara lain terjadi ketika adanya larangan pergi haji, dan
perintah mengadakan pemogokan umum. Bahkan di kota Kandangan, rakyat
dengan sukarela meninggalkan rumah, harta dan pekerjaannya untuk hijrah
ke daerah pedalaman yang dikuasai gerilyawan, yang batasnya hanya dua
kilometer dari kota tersebut.
3. Patokan Ketiga
Patokan Ketiga adalah sikap defensif Belanda terhadap tekanan-tekanan
para gerilyawan. Sebagaimana diterangkan sebelumnya, Belanda telah
menarik dan memusatkan kekuatannya di kota-kota. Hal tersebut berarti,
Belanda sebagian besar telah kehilangan inisiatif untuk menyerang
posisi-posisi gerilyawan. Pasukan KNIL, KL, maupun polisi NICA hanya
mungkin melakukan perjalanan di pedalaman dalam konvoi dan pengawalan
yang ekstra. Di Banjarmasin sendiri, mereka harus waspada terhadap
serangan-serangan gerilyawan.
Seorang sejarawan bernama Cornelis van Dijk pernah menyatakan, bahwa
sesungguhnya dalam paruh kedua tahun 1949 ALRI Divisi IV telah
bersimaharajalela dan benar-benar dapat melumpuhkan pemerintahan NICA di
Kalimantan Selatan, termasuk di dalamnya keberhasilan menggagalkan
pembentukan Negara Borneo.
Sedemikian gawatnya situasi pada waktu itu, menyebabkan Residen A.G.
Deelman dan Teritorial Commandant-nya yakni Letkol H.J.Veenendal harus
tidur di kapal perang yang berlabuh di pelabuhan Banjarmasin. Bahkan
untuk pelarian darurat orang-orang Belanda, telah dipersiapkan
kapal-kapal kecil di pelabuhan tersebut.
Memang pihak Belanda selalu berusaha menutup-nutupi pemberitaan tentang
kegiatan gerilya tersebut, agar terdapat kesan bahwa sebenarnya secara
de facto maupun de jure Kalimantan Selatan benar-benar di bawah
kekuasaan Belanda. Namun hal tersebut tidak dapat mengatasi keadaan.
Adanya serangan gencar para gerilyawan yang diekspose antara lain oleh
Harian Kalimantan Berjuang, telah menyebabkan Belanda tidak bisa
menjalankan pemerintahannya dan dengan terpaksa harus menepiskan rasa
malunya untuk “meminta” gencatan senjata (cease fire) di Kalimantan
Selatan kepada Pemerintah Republik Indonesia di Yogyakarta. Padahal,
secara sadar dan resmi, Pemerintah Republik Indonesia melalui
Persetujuan Linggarjati dan Renville telah meninggalkan dan melupakan
Kalimantan.
Dapat dikatakan, sebelum dilaksanakannya Pertemuan di Munggu Raya
(September 1949) untuk membicarakan cease fire dimaksud, maka bulan
Agustus 1949 adalah puncak kekalahan Belanda dan sebaliknya puncak
kemenangan gerilya dan rakyat Kalimantan Selatan menuju muara
kemerdekaan.(Redaksi KWKS)
Kamis, 17 Mei 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Follow KWKS Online
Susunan Redaksi
*PENGARAH :
- Drs. H. Moebramsyah, AKF
- Prof. Dr. H. Ibramsjah. MS
- Ir. Ardiansyah Parman
*PIMPINAN REDAKSI :
- Gusti Nurpansyah
PENANGGUNG JAWAB :
- Yakob KM Ismail
*TIM REDAKSI :
- Sulaiman Ibrahim
- Samsul Wijaya
- Karya Saputra Pratama
- Sufrizal
- Heru Prabowo
*DESAIN GRAFIS :
- Edho Pratama
- Andre Farras
*PENANGGUNG JAWAB GRAFIS :
- M. Hussien Indra Jaya
*ALAMAT REDAKSI :
- Jln. H. Asmawi Kav 11. Depok, Jawa Barat.
*EMAIL :
- kwksjabodetabek@yahoo.com
- Drs. H. Moebramsyah, AKF
- Prof. Dr. H. Ibramsjah. MS
- Ir. Ardiansyah Parman
*PIMPINAN REDAKSI :
- Gusti Nurpansyah
PENANGGUNG JAWAB :
- Yakob KM Ismail
*TIM REDAKSI :
- Sulaiman Ibrahim
- Samsul Wijaya
- Karya Saputra Pratama
- Sufrizal
- Heru Prabowo
*DESAIN GRAFIS :
- Edho Pratama
- Andre Farras
*PENANGGUNG JAWAB GRAFIS :
- M. Hussien Indra Jaya
*ALAMAT REDAKSI :
- Jln. H. Asmawi Kav 11. Depok, Jawa Barat.
*EMAIL :
- kwksjabodetabek@yahoo.com
0 komentar:
Posting Komentar